Akhir sebuah kerinduan yang ternodai


 

Oleh Yan Ukago

Akhirnya bisa tiba di tempat ini setelah 45 tahun pergi. Kami tempati rumah ini saat beta masih kecil, ketika ayahku bertugas sebagai guru SD di Bilogai antara tahun 1975-1978.  Ada kolam ikan depan rumah tapi kini sudah tidak ada, ditimbun jadi halaman.  Itu satu2nya tempat kami bisa makan ikan,  saya masih ingat, saat panen,  semua pegawai kecamatan pasti kumpul, baku rampas ikan.   

Sedih lihat rumah ini, duluh nampak raksasa tapi kini terasa susut dan mengecil.  Ada sejuta kenangan masa kecil tersimpan di dalam rumah tua ini. Di dalam rumah ini entah mengapa duluh org2 memanggilku dgn sebutan zogaabumala sebagai namaku. Sy ijin  masuk dan lihat dalam rumah, di lantai rumah ini  terasa ada bekas kakiku saat berusia 7 sampai 8 tahun. Adikku yg perempuan bernama Irene mabii yang kini jadi ibu guru SMK di deiyai  juga lahir di rumah ini. Mamaku melahirkannya di lantai atas. Di rumah ini juga mamaku selalu mengajarkan kami, anak2 tentang kasih kepada orang hina dina. Ada dapur prapian terpisah agak jauh di belakang. Ini daerah moni, kami suku Mee, kami tinggal bersama dua org pembantu dari suku moni yg bernama auleagigi dan dolekebe. Mereka dua, satunya bisu, satu lagi tuli tp mereka dua kuat kerja. Kami sering ke hutan cari kayu api dan berkebun. Mereka dua mengajarkan saya bagaimana teknik menebang kayu, mengikat dan memikul  kayu secara efisien. Dari mereka dua juga sy belajar bahasa isyarat, kami berkuminikasi dgn kode tangan dan mimik wajah.  Entah mengapa ayahku suka mengumpulkan mereka yg tunanetra ini di rumah, sy tdk paham.

Selama dua tahun, saya bersama kakaku perempuan  Tin bersekolah di kelas 1 SD YPPK Bilogai, tempat di mana ayahku mengajar.  Sebelumnya ayahku juga bertugas di Titigi yg kini jadi pusat perang di intan jaya. Di sana bekas rumah kami ada di kampung ndugisiga, mungkin sudah lapuk.

Kami tempati rumah misi ini sekitar lima tahun, akhirnya kami tinggalkan rumah ini di bulan oktober tahun 1978, karena ayahku  pindah tugas ke Bodaatadi agadidee, Paniai.  Di bandara, saat berangkat dua org tunetra ini belum siap terima perpisahan dgn bapa dan mama. Aitaoo dileo kaneoo. Kami suku Mee mereka dua moni, tidak rela kami pergi utk selamnya, mereka dua menangis sejadi2nya dan tahan roda pesawat yg mau diterbangkan pilot AMA Tom Benoit.. tp mau gimana, petugas singkirkan mereka dua ke pinggir lapangan. Saat itu saya masih kecil dan  hanya bisa saksikan mereka berdua dgn air mata  lewat jendela kaca pesawat.  Saya juga kehilangan mereka dua yg ajarkan saya banyak hal. Hati saya hancur dan saya hanya bisa bawa kisah ini dan simpan selama 45 tahun.

Kemarin begitu tiba di Bilogai, sambil bawa foto mama dan bapa dlm tas ransel, sy cari mereka dua lebih duluh, mungkin sudah tua?  Saya jalan tanya semua orang tua rambut putih yg sy jumpai  di jalan, mungkin kenal auleagigi dan dolekebu? Tapi sayang.. Terlambat! Katanya, mrk dua su tiada. Sdh lama meninggal. Auleagigi meninggal  belakangan, 10 tahun lalu. Dolekebe sebelumnya. Berarti  sy terlambat tiba di sini. Sedih. Air mataku jatuh di depan pastoran bilogai.

Memang setelah saya pulang dari kuliah di jawa, sy jadi pegawai tahun 2000 di Jayapura. Saya sudah menanti  selama 23 tahun, kapan sy bisa ke bilogai. Dari hari ke hari  sy selalu menanti dan menanti.  Malah sy lebih banyak bertugas di tempat lain di tanah Papua.

Tp waktu Tuhan itu  akhirnya datang.  Sebuah undangan dari Bilogai tiba di rumahku minggu lalu dan hari rabu tgl 22 Non 2023, sy bisa tiba di Bilogai, lihat bekas kaki tempo doloeh, lihat rumah dan jalanan, sy jalan kaki keliling, tengok memori masa kecil.  Pohon, alam, kebun dan rumah, semua su berubah, rupanya Bilogai itu telah jadi ibukota kabupaten intan jaya dengan nama sugaapa. Itu yg bikin saya heran, tempat ini duluh bernama bilogai, mengapa kini bisa berubah jadi sugapa??

Kemudian  sy  juga  baru tahu, block wabu yg kini diperebutkan  para kapitalis itu, ternyata sebuah semenanjung kecil sebelah kiri bandara bilogai, tepatnya sebelah kali wabu, tempat masa kecil kami bermain. Gunung kecil itu sy perhatikan baik2,  duluh masih hutan tp kemarin sdh banyak kebun2 masyarakat moni, ada beberapa kampung, yang dibawahnya tersimpan cadangan emas luar biasa itu.

Kini, Rindu lamaku sudah terobati wlau dua hari saja beta ke sana.  Terimakasih untuk sebuah dinas kecil di Intan Jaya yang telah mengundang sy ke Bilogai untuk sampaikan materi di acara sosialisasi. Ini waktu yang Tuhan beri. Saat terima undangan saya menari di Nabire.  Entah mereka kenal sy dari mana? Sy tinggalkan semua tugas demi mengobati  sebuah kerinduan yang sudah menahun.

Tp kemarin saat di Bilogai, ada penembakan. Di tengah peluru yang beterbangan,  beta jalankan tugas ini dengan penuh bahagia. Sejatinya saya mau sampai di ndugisiga, lihat rumah kami yang di sana, saat ayahku bertugas di SD  YPPL Titigi tahun 1972-1976 tapi terhalang letusan senjata dan peluru  Terjadi korban dua org korban polisi meninggal di tempat,  kami dilarang kluar, sy tetap nekat, tp hanya  jalan menyusuri lorong  dan bukit pinus skitaran Bilogai sj. Mengapa harus terjadi saat saya tiba di bilogai? Mengapa bukan kemarin atau besok lusa? Kerinduanku ini terasa dinodai oleh Peluru dan senjata.  Tapi aku tetap menikmati indahnya hidup ini. Hidup ini sekali saja dan tak mungkin terulang lagi. Tanpa takut, dua hari aku menikmati kenangan indah di masa kecilku di tengah peluru. Aku tidak takut, kerinduanku telah membutakan sebuah ketakutan. Saya akan  balik kei sini sekali lagi, sy ingin mau sampai ke ndugisiga dan lihat rumah tua kami dan bekas kebunku di yantapa.  Dari bilogai, mereka ada di kejauhan sana, sebelah kamp militr TPN OPM dan TNi.  Sy bisa ke sana setalah ada perdamaian dan keadilan alias justice & peace di bumi papua ini, sampai kapanpun beta menanti. Tuhan Maha baik.

 

Bilogai, Awi jr 23

Posting Komentar

0 Komentar